Pak, suraumu tak roboh lagi!
 
oleh : Maulidan Siregar
  
 Buat AA. Navis;
 
Pak, suraumu tak roboh lagi
Gambarnya kami unggah di facebook
Kami bagikan pada ribuan kawan
Semua pada komentar, bilang suraumu bagus
 
 
Kami foto dari luar
Lagi duduk di lapau, menunggu jamaah kelar
Sambil diskusi, bagaimana bisa agar suraumu bagus, suraumu ramai
Di lapau, ada kopi, rokok, secarik kertas, dan pulpen bahan diskusi
 
Suraumu dibantu ayah kami,
Ayah kami yang pejabat, pengusaha sukses, dewan politik, dan calon gubernur
Ayah kami baik
Peduli sama suraumu, biar bagus, biar ramai
Keramik-keramik cantik
Kubah-kubah megah
Dibantu ayah kami,
Di gotong bersama
Garin adzan kami pulang
Garin punya acara kami datang
Pariaman, 20 Januari Masehi 2014 pukul 07: 39 wib
Membaca
  sajak "Pak, suraumu tak roboh lagi!" (untuk A.A. Navis) yang ditulis  
oleh Penyair Maulidan Siregar serasa membawa kita kepada dunia yang  
dibangun oleh cerpen Sastrawan A.A. Navis dahulu. "Robohnya Surau Kami" 
 sampai sekarang masih relevan untuk dibicarakan, termasuk memantik  
ide-ide generasi zaman yang terus berganti. Generasi berganti, zaman  
berubah namun masalah surau tetap saja akan menjadi isu sentral tak  
berkesudahan.
Surau  bagi masyarakat Minangkabau sama 
pentinganya dengan rumah gadang. "Adat  basandi syara', Syara' Basandi 
Kitabullah. Syara' mangato, Adat  mamakai", Begitu falsafah yang 
diajarkan kepada kita. Surau juga adalah  pusat sosial kemasyarakatan. 
Bila di perkotaan ada auditorium, hall atau  pusat pertemuan (Convention
 center) maka di nagari-nagari seantero  Minangkabau niscaya peran 
mengumpulan warga itu di ambil alih oleh  surau. Surau adallah jantung 
masyarakat nagari, terlepas akan ramai atau  tidaknya surau tersebut 
ketika waktu shalat tiba.
Dalam  sajak tersebut, penyair 
bagaikan berdialog dengan sang maestro sastra  (baca: A.A.Navis) memberi
 kabar bahwa surau yang dulu digambarkan dalam  cerita "Robohnya Surau 
Kami" kini sudah kembali berdiri. Kita simak bait  pertama:
"Pak, suraumu tak roboh lagi
Gambarnya kami unggah di facebook
Kami bagikan pada ribuan kawan
Semua pada komentar, bilang suraumu bagus"
Adat
  kita kini yang suka mengunggah apa saja melalui media jejaring sosial 
 disindir oleh penyair. Bangga sekali bila punya surau yang indah, kilau
  berwarna, bersih terawat hingga tergugah hati untuk memotret lalu  
mengunggahkan ke dunia maya, Jeppprett!! tersebarlah itu poto, dapat  
pujian beribu-ribu, beritapun tersebar cepat bahwa ada sebuah surau  
dibangun dengan amat cantiknya. Alangkah riang hati yang sering  
beraktivitas dalam surau yang potretnya kini ada di dunia maya. Bangga, 
 bangga sekali!
Namun, penyair dengan piawai menghentak dengan sinis pada bait kedua, mari kita simak lagi:
"Kami foto dari luar
Lagi duduk di lapau, menunggu jamaah kelar
Sambil diskusi, bagaimana bisa agar suraumu bagus, suraumu ramai
Di lapau, ada kopi, rokok, secarik kertas, dan pulpen bahan diskusi"
Terjadilah
  absurd di sini. Ironis tiada tara. Rupanya surau yang ditegakkan di  
dalam dunia maya itu dipotret oleh orang-orang yang duduk dilapau ketika
  takbir di lantunkan oleh imam sholat berjamaah. Diskusi digelar 
majelis  lapau. Asyik corat sana sini menggambar rupa sketsa surau agar 
 kelihatan lebih cantik lagi. Di dalam surau ayat-ayat ilahi melantun, 
di  lapau itu kopi, rokok dan diskusi semakin ramai dengan topik 
bagaimana  cara meramaikan surau! Wooww!
begini diskusinya, kita baca pada bait ketiga:
"Suraumu dibantu ayah kami,
Ayah kami yang pejabat, pengusaha sukses, dewan politik, dan calon gubernur
Ayah kami baik
Peduli sama suraumu, biar bagus, biar ramai".
Memang
  bangga sekali mereka dengan surau itu. Kebanggaan yang rupanya sudah  
terwariskan sampai ke anak cucu. Ada di sana dalam hati. Meruap bersama 
 aroma kopi dengan hidung yang kembang kempis. Dunia kapitalis kecil,  
para konspirator, dan peramu intrik pencari dunia. Surau yang cantik itu
  ternyata dibangun dengan hati yang dipenuhi rasa riya. Niat awal  
membangun adalah riya. Memuluskan usaha untuk dibanggakan dinasti  
keluarga. Dan berdirilah surau itu dengan menyimpan niat tersembunyi  
para pendermanya.
"Keramik-keramik cantik
Kubah-kubah megah
Dibantu ayah kami,
Di gotong bersama".
Maka
  beginilah yang kemudian terjadi. Surau bagus dan mewah. Namun, karena 
 pondasi dasar pembangun surau itu adalah untuk mengejar dunia dan bukan
  mengharap akhirat, maka :
"Garin adzan kami pulang
Garin punya acara kami datang".
Surau
  lengang ketika datang waktu sholat. Suraupun ramai ketika ada acara  
makan-makan, rapat membahas dana kas, dan saban malam riuh rendah dengan
  suara orang-orang yang bermain bulutangkis di halamannya.
Aku melihat A.A. Navis makin sinis tersenyum sambil mengelus punggung penyair yang menyerahkan sajaknya ini kepada beliau.
Suasso, 20 Januari 2014
Denni Meilizon "Rembang Dendang"
saya pastekan dari sini:
dennimlz.blogspot.com/2014/01/buat-aa-navis-ketika-surau-itu-tak.html
 
 
No comments:
Post a Comment