RESENSI
BUKU ODONG-ODONG FORT DE KOCK
Jenis Buku : Kumpulan Puisi
Penulis :
Deddy Arsya
Penerbit :
Kabarita, Padang
Tata Letak : Kapatabang
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, Mei 2013
Harga :
Rp. 30.000,-
ISBN :
978-602-18336-1-2
Peresensi : Maulidan
Jikalau boleh meminjam
pendapat ulama tafsir perihal perkara Alif
Laam Mim dan Alif Laam Ra dalam
al-Qur’an (hanya Allah yang paham betul maknanya), barangkali judul buku ini
juga demikian. Yap, “Odong Odong Fort de Kock” begitulah judul buku ini, buku
ini merupakan kumpulan puisi Deddy Arsya. Seorang penyair sekaligus pengamat
sejarah Minang Kabau ini lahir di Bayang, Pantai Barat Sumatera katanya pada
tanggal 15 Desember 1987 bermukim di Padang Panjang, dan gosipnya bakal balik
lagi ke Padang dalam waktu dekat.
Deddy Arsya (seperti
yang tertera pada cover belakang buku ini) menamatkan pendidikan S1 pada
Jurusan Sejarah Islam, IAIN Imam Bonjol Padang. Menyelesaikan pendidikan S2
pada prodi Ilmu Sejarah, Pascasarjana UNAND Padang, beliau menulis lepas di
berbagai Koran, majalah dan jurnal, baik lokal maupun Nasional. Beliau juga
pernah menjadi penangung jawab rubrik remaja di inioke.com. Sekarang merupakan tenaga honorer di salah satu
Perguruan Tinggi di Payakumbuh, mengajar satu kali dalam seminggu.
Kita masuk ke cover ya,
beberapa penikmat buku tentu saja akan menilai buku yang akan dibelinya terlebih
dahulu dengan cara menilai covernya. Cover buku yang menarik, tentu saja akan
menambah minat seorang pembaca untuk membeli buku tersebut. Seperti pada buku
ini, covernya seolah mengajak pembaca untuk membelinya, jujur saja ketika
membeli buku ini, saya tidak menganggap bahwa penulisnya adalah penyair
Nasional, melainkan sudah tertarik terlebih dahulu dengan covernya. Di cover
buku ini, ada sebuah tangan yang cukup besar (hampir memenuhi cover) dan di
atasnya ada gambar seperti Odong-Odong yang lucu, entah itu tangan Tuhan,
tangan pemimpin, tangan pahlawan masa dulu, atau tangan siapalah, sekali lagi
hanya Deddy Arsya yang tahu, tentu Tuhan juga. Atau bisa jadi Heru Firdaus juga
tahu, karena Heru lah yang bertanggungjawab dalam pembuatan desain sampulnya.
Puisi Deddy Arsya
terasa begitu kental dengan adat-adat kebiasaan Minang Kabau, seperti perihal
transaksi jual beli di pasar tradisional, tradisi pacuan sapi (Pacu Sapi di Simabur),
pertengkaran suami-isteri (Samsinar Pulang dari Pasar; h. 17), dan hubungan
masyarakat lainnya yang ditulis dengan narasi-narasi sederhana namun sejatinya
memerlukan pemikiran yang menahun.
Ya, puisi-puisi Deddy
Arsya yang dibukukan dalam “Odong-Odong Fort De Kock” ini secara keseluruhan
bergenre puisi narasi, salah satu genre puisi yang makin marak di dunia
perpuisian di Indonesia, puisi-puisi yang membuat dahi pembacanya berkerut, dan
lupa untuk kentut karena sibuk mencari makna.
Meskipun begitu,
sepertinya Deddy Arsya juga mengajak pembacanya untuk lebih kenal dengan
sejarah (lihat; h.1), apakah anda mengenal Malin Sampono? Haji Miskin? Rosnida?,
itulah kenapa puisi Deddy juga kental dengan unsur-unsur sejarah, tokoh-tokoh
yang sepertinya ada di masa lalu dihadirkan kembali dalam wujud puisi.
Dalam buku ini, seledri
jadi puisi, bawang jadi puisi, lobak
jadi puisi, tomat, terung, buah pala, kapas, asam Jawa, lada, karet,
kelapa sawit, serai, ruku-ruku, sayuran
atau rempah dapur (yang telah di sebutkan di atas) menjadi puisi. Lanjut,
jeruk, rambutan, kuini, apel, juga jadi puisi, dipadupadankan dengan semaunya
oleh Deddy Arsya. Perihal apel dan lainnya, anda bisa membelinya di
Bukittinggi, tepatnya di Pasar Atas dan Pasar Bawah, (Rosnida Mencari Laki; h.
18), jangan beli di mall atau pusat perbelanjaan lainnya, karena bisa jadi
mahal di sana.
Masih dalam buku ini,
Padang jadi judul puisi, Sibolga jadi judul puisi, Nias juga, Simabur, Binjai,
Maninjau, Pekanbaru, Singgalang, Silungkang, Pariaman, Kambang, pun jadi judul
puisi. Hal-hal yang masih sangat jarang kita temui pada syair-syair masa kini.
Iya kan?
Mengutip pendapat
Afrizal Malna, puisi Deddy “memiliki geopuisi yang khas dari lingkungan pesisir
dan daratan, dari lingkungan perkebunan dan pasar kota. Terus bergerak ke arah
lainnya, dari dunia mistik ke dunia perdagangan, dari sejarah dan memori
tentang keluarga”.
Buku antologi puisi
karya Deddy Arsya ini dikemas dengan sajak-sajak yang sederhana, namun
membutuhkan pemikiran lebih mendalam untuk memahaminya, penulis sekaliber
Afrizal Malna pun dalam essainya di akhir buku ini mengaku untuk memperoleh apa
yang diinginkan Deddy, “saya bahkan membaca puisinya berkali-kali dengan
berbagai tempo, ada yang dengan cepat dan ada pula membacanya dengan tempo yang
pelan”.
Buku ini berisikan 64
buah puisi (setelah dihitung ulang) dan merupakan kumpulan sajak Deddy Arsya
yang pertama, dipilih dari 200an puisi yang ditulis sejak tahun 2004 hingga
2013 Masehi. Beberapa penulis dalam buku puisinya acap kali mencantumkan
puisinya dimuat di mana, tapi bagi saya dengan tidak dimuatkannya di mana puisi
itu pernah dimuat bukanlah kekurangan dari buku ini, namun merupakan wujud
kesederhanaan penulis itu sendiri, bisa jadi hal seperti ini agar Deddy tidak
dianggap sombong oleh pembacanya. Sekedar berbagi, puisi Deddy sudah acap kali
dimuat diberbagai media Nasional.
Buku ini diterbitkan
oleh KABARITA, sebuah perusahaan
penerbitan buku yang dikelola di Kota Padang, pemiliknya seperti info yang
didapati di Google adalah Afrizal KW,
salah seorang penulis dan budayawan terkemuka asal Sumatera Barat, yang sering
nongkrong di Taman Budaya Sumbar. Untuk itulah launching buku ini juga berlangsung meriah di Taman Budaya Sumatera
Barat, bahkan juga ada poster berisikan cover buku ini kala itu, sebesar poster
caleg-caleg di jalan raya.
Meski diterbitkan oleh
penerbit lokal, buku ini tidak kalah saing dengan buku-buku terbitan penerbit
Nasional, salah satu buktinya adalah buku ini merupakan nominasi 5 besar peraih
penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) kategori puisi, dan juga terpilih
sebagai Buku Terbaik Tempo 2013 kategori puisi. Untuk itulah kenapa sulit
menemukan kelemahan buku ini.
Berdasarkan informasi
dari Deddy, buku puisinya “Odong-Odong Fort De Kock” bisa didapat di salah satu
took buku di Kota Padang berinisial “S”. Bisa dikunjungi dengan berbagai angkot
di Kota Padang.
Terakhir, saya kutipkan
sepenggal sajak Deddy Arsya sebagai kenang-kenangan:
“Aku
cendol yang dikacau ketika langit runtuh,
Orang-orang
bunuh diri di kandang sapi,
Dan
jalan raya dipenuhi huru-hara hujab api”_ Sajak Kehilangan Tali
(h.62)
Selamat Membaca!
Maulidan lahir di
Padang, 3 Februari 1991. Aktif menulis sejak tergabung dalam UKM Teater Imam
Bonjol Padang, dan sekarang tergabung sebagai anggota Forum Aktif Menulis (FAM)
Sumatera Barat, berdomisili di Pariaman.
No comments:
Post a Comment