Padang, 7 mei 2010
Kepada Ibu di Tempat; dikamar tidur jika sedang tidur,dikamar mandi jika sedang mandi
Adapun surat ini aku awali dengan sebuah puisi, Oh Ibu beginilah wujud puisinya jika puisi ini kau anggap sebagai makhluk, seperti inilah Ibu, lihatlah:
Ibuku
Ibuku adalah perempuan
Perempuan yang kuat
Ibuku suka mencuci piring
Ibuku suka pergi ke pasar
Aku sayang sekali pada Ibuku
Ibuku juga sayang pada Ayah
Mereka saling mencinta
Ibuku baik, dia adalah perempuan kuat
Tapi, waktu Ibuku sakit dia menangis
Dia tidak bisa tersenyum
Oh Ibu... koq gitu sih?
Ibuku cantik sekali
Aku cinta padanya
Sampai aku mati dan sampai Ayah mati juga
Aku sayang Ibuku
Dan demikianlah Ibu, aku tulis puisi ini dalam keadaan sadar, dan tidak dalam keadaan mabuk, dan tidak pula dalam keadaan sombong. Ibu... aku sudah besar, aku sudah berubah Ibu, aku bisa jadi power ranger bagi diriku sendiri. Power ranger pink, Ibu. Seperti cita-citaku dulu.
Dan oh Ibu, kau telah jadi orang tua sejak aku ada. Padahal kau masih cantik, karena bedak yang kau pakai waktu pergi majlis ta’lim, dan juga waktu pergi baralek. Dan oh Ibu, sadarkah kau bahwasanya kau masih muda? Dan oh... bolehkah aku memanggilmu orang muda? Aku belum sanggup memanggilmu dengan orang tua, sebab kau tau sajalah tua itu dekat dengan kematian, dekat dengan kubur. Apa kau sudah punya banyak amal? Oh... aku tak mau jawab... oh aku tak mau.
Dan oh Ibu, aku sekarang rajin kuliah. Tapi aku tersangkut oleh organisasi, Bu. Aku sibuk. Aku sibuk. Aku tahu Ibu, organisasi ini tak akan memberiku uang, tapi Bu, aku juga ingin terkenal. Seperti artis, seperti aktor dan seperti Megy. Z yang kau idolakan. Dan oh Ibu, Megy. Z sudah tidak ada sekarang, bagaimana menurut Ibu?
Dan oh Ibu, bagaimanakah keadaan adik-adikku sekarang? Apakah mereka membantu Ibu dalam membuat goreng. Aku rindu suasana itu Ibu. Aku ingin melihat darah yang keluar dari tangan Butet ketika mengiris lobak, waktu itu sebenarnya aku ingin membelikan betadine untuknya, namun akun malah tertawa terbahak. Aku memang bandel Ibu, oh... ingatkah kau?
Dan oh Ibu, matahari terbit disebelah timur dan tenggelam disebelah barat, di Padang juga gitu kan? Di Bandung tidak begitu Bu, aku pernah baca buku orang Bandung yang bilang matahari itu sebenarnya tidak terbit dan tidak tenggelam, bumi lah yang berputar. Dan itulah salah satu ilmu yang aku dapat dibangku perkuliahan, bukan dimeja perkuliahan.
Dan oh Ibu, aku ingin jadi matahari itu untukmu. Menjadi penerang bagimu, menjadi pertanda bagimu untuk pagi. Menjadi pertanda bagimu untuk maghrib. Aku ingin kau mengingatku disetiap saat. Seperti pagi, seperti siang, dan seperti maghrib.
Dan oh Ibu, saat maghrib itu. Masih ada di otakku ketika kau sedang marah, aku balas juga dengan marah. Kita bertengkar dan bisa menghadirkan petir dirumah. Lalu, Butet datang. Dan aku marah kepada Butet, aku pukul dia, aku tinju dia, dan aku tampar dia sejadi-jadinya. Dan kau pingsan, dan dia terkapar menahan rasa sakit, dan aku termenung. Lalu ayah datang, pulang dari kerja. Aku pergi ke mesjid. Dan dimesjid, aku juga menampar anak orang, ingatkah kau?
Dan oh Ibu, saat itu syetan menang. Syetan telah bisa merubah syurga yang telah lama ada dirumah kita menjadi neraka. Dan Ibu, malam harinya aku memang sudah minta maaf. Tapi Bu, itu belum cukup. Maafkan aku Bu, maafkan aku Bu, maafkan aku Bu, 33x saja. Dan oh Ibu, semoga luka yang aku hadirkan telah sembuh dan sekarang aku harap Ibu mendo’akan aku agar tak melakukan hal itu lagi disini.
Dan oh Ibu, sumpah deh! Aku menulis surat ini dengan tangis, dengan pena. Dengan pena yang masih baik tintanya dan bagus tubuhnya. Pena yang kau berikan yang dengan dengan itu aku bisa makan, bisa masak, dan bisa mencuci.
Dan oh Ibu, pena yang aku maksud adalah tangan (hehehe... ibu ketawa dong, jangan nangis baca surat ini). Dan oh Ibu, Butet sudah besar kan? Kalau gitu Ibu ajak dia ke warnet ya. Lihat facebook aku, Bu. Disini, facebook seperti makhluk. Aku harus terus berinteraksi dengannya, dan aku bisa ngetop gitu, Bu. Lihatlah, Bu. Di facebook aku ada foto aku di Universitas Indonesia, meskipun aku anak ITB. (hehehe... ucok gitu lo).
Dan oh Ibu, sungguh betapa aku sangat bahagia ketika aku dipelukmu. Bukan dipeluk Ayah. Aku kangen Ibu. Aku kangen Ibu. Aku kangen Ibu (33x).
Dan oh Ibu, bolehkah aku menjadi tulang punggung Ayah?.
No comments:
Post a Comment