BERUK AKAN DIJUAL
“Jangan
kau lari,
bisa
tanggal celanaku nanti,”
kata
juragan berkereta angin itu.
Paku-paku
ranjau tukang tambal ban di mulutnya.
Lubang
ekor tupai di kedua matanya.
Pada pohon
kelapa terakhir ini
buah
masak buah muda kuturunkan semua.
Sedari
kecil aku telah belajar memilih buah
yang
digantung di tiang gawang sepak bola.
Kata orang,
beruk Pariaman sepertiku
mahal
harganya karena tanganku panjang sebelah
lantaran
kerap buang air di tepi laut.
Satu tanganku
yang panjang
dapat menjangkau
buah
tanpa
harus berpindah duduk.
Pada pemanjatan
terakhir ini
Aku
bermenung buruk, tak mau disuruh turun.
Meski tali
disentak, meski hati digertak.
Jangan
kembalikan aku ke pasar ternak.
Jangan
beri aku topeng Sarimin
dengan
foto artis Korea,
juga
pemain sinetron Indonesia.
Aku tak
pandai ke pasar
mengapit
payung menjinjing tas,
Aku
tak berbakat jadi astronot
seperti
beruk Amerika di zaman bergejolak.
Ketinggian
itu alangkah menakutkan.
Aku hanya
ingin memanjat
pohon
tumbuh terbaik
yang
dikabarkan orang-orang tarekat Ulakan.
Dahan dan
rantingnya
menghujam
ke dalam tanah,
ke
dalam alam kubur Tuan dan Nyonya.
Padang,
2014
KEPADA PENCAKAU AYAM LEPAS
Tangkaplah
aku sebelum petang
yang
rabun menemukanku
lalu
menghelaku ke dalam warna-warni kandang.
Tangkaplah
sebelum pisau sembelihan disiapkan,
sebelum
itik-itik sawah diarak pulang.
Jika tidak,
malammu akan berseteru
dengan
musang dan kalah membedakan
yang
mana bulu domba mana rambut peternak.
Di
sibakan belukar, perangkap pasangkanlah.
Di tepi
bandar, jaring tebarkanlah.
Di dahan
udara, getah pikat pasangkanlah.
Jeratlah
di manapun kau ingat.
Jika kau
dapatkan kami para ayam lepas ini,
jangan
dipegang sebelah tangan yang ragu.
Kalau tidak,
seekor akan terbang seekor akan lepas.
Terbangnya
ke rimba masa lalu.
Ke dalam
lagu lama itu. Aih, malanglah harimu
di
hadapan kuali restoran kentaki itu.
Meski ke
lurus jalan Payakumbuh
kau pintas,
ke belokan jalan Palupuah
kau
hadang, meski kau intai dengan bedil
berlaras
sepanjang tali beruk
tak
akan kau temukan aku
agak
secabik bulu, agak sejejak kuku.
Padang,
2014
ORANG KOTA
Aku
orang kota yang terus
menyerut
goni berisi kerbau dan anak kecil
mandi
di satu tepian,
sawah-sawah
gagal panen,
berjinjing-jinjing
aroma
duran
masak, tukang rabab
diserang
asmara, dan gerombolan
anak
muda pecinta orgen tunggal.
Aku orang
kota
yang
tersandung jenjang berjalan,
tergoda
membeli baju seken, tertidur
di
antrian bank, mual setelah makan
ayam goring
Amerika.
Aku orang
yang dikalahkan
meja-meja
kantor
dan
malam yang dipenuhi
tivi
dua puluh inci.
Aku orang
kota beraroma
padi basah,
berwarna lontong malam.
Jika gulai
paku besi dipendam,
air mataku
mentah di peram.
Padang,
2014
MEMUTAR PIRINGAN HITAM
Kau
putar lagi piringan hitam. Perlahan
orang-orang
tenggelam dalam gelas-gelas
kopi. Kampung-kampung
tinggal
bulatan
gelembung. Lagu-lagu
jadi
vespa berbusi rapat. Semua
jalan
raya punya telinga. Tapi
semua
telinga semua dada
bakal
berubah kaca
yang
tak memantulkan apa-apa.
Kau pecahkan
lagi suara
dari
cerobong gramofon itu. Antara
kupingmu
dan kupingku kenangan
hanya
sebatas radio jam satu malam,
walau
piring hitam mengeluarkan orkes melayu
mengeluarkan
udara yang dulu-dulu.
Beri juga
aku joget dari nasib buruk
hari silam
di hari baru. Tetapi kau menjawab,
“Pinggulmu
pisang masak lisut,
joget
maupun yang kau goyangkan
patah
di pinggang. Tenggorokanmu
dawai
berkarat, lagu apapun
yang
kau lantunkan
tak
akan masuk kunci
meski
dengan nada dari Barat ini.”
Padang,
2014
*Rio Fitra SY lahir di Sungailiku,
Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 12 Juni 1986. Bekerja dan menetap di Padang.
Koran
Tempo, 10 Agustus 2014
No comments:
Post a Comment