Friday, October 17, 2014

Puisi-puisi Rio Fitra SY



BERUK AKAN DIJUAL

“Jangan kau lari,
bisa tanggal celanaku nanti,”
kata juragan berkereta angin itu.
Paku-paku ranjau tukang tambal ban di mulutnya.
Lubang ekor tupai di kedua matanya.

Pada pohon kelapa terakhir ini
buah masak buah muda kuturunkan semua.
Sedari kecil aku telah belajar memilih buah
yang digantung di tiang gawang sepak bola.
Kata orang, beruk Pariaman sepertiku
mahal harganya karena tanganku panjang sebelah
lantaran kerap buang air di tepi laut.
Satu tanganku yang panjang
dapat menjangkau buah
tanpa harus berpindah duduk.

Pada pemanjatan terakhir ini
Aku bermenung buruk, tak mau disuruh turun.
Meski tali disentak, meski hati digertak.

Jangan kembalikan aku ke pasar ternak.
Jangan beri aku topeng Sarimin
dengan foto artis Korea,
juga pemain sinetron Indonesia.
Aku tak pandai ke pasar
mengapit payung menjinjing tas,
Aku tak berbakat jadi astronot
seperti beruk Amerika di zaman bergejolak.
Ketinggian itu alangkah menakutkan.

Aku hanya ingin memanjat
pohon tumbuh terbaik
yang dikabarkan orang-orang tarekat Ulakan.
Dahan dan rantingnya
menghujam ke dalam tanah,
ke dalam alam kubur Tuan dan Nyonya.
Padang, 2014       


KEPADA PENCAKAU AYAM LEPAS

Tangkaplah aku sebelum petang
yang rabun menemukanku
lalu menghelaku ke dalam warna-warni kandang.
Tangkaplah sebelum pisau sembelihan disiapkan,
sebelum itik-itik sawah diarak pulang.
Jika tidak, malammu akan berseteru
dengan musang dan kalah membedakan
yang mana bulu domba mana rambut peternak.

Di sibakan belukar, perangkap pasangkanlah.
Di tepi bandar, jaring tebarkanlah.
Di dahan udara, getah pikat pasangkanlah.
Jeratlah di manapun kau ingat.

Jika kau dapatkan kami para ayam lepas ini,
jangan dipegang sebelah tangan yang ragu.
Kalau tidak, seekor akan terbang seekor akan lepas.
Terbangnya ke rimba masa lalu.
Ke dalam lagu lama itu. Aih, malanglah harimu
di hadapan kuali restoran kentaki itu.

Meski ke lurus jalan Payakumbuh
kau pintas, ke belokan jalan Palupuah
kau hadang, meski kau intai dengan bedil
berlaras sepanjang tali beruk
tak akan kau temukan aku
agak secabik bulu, agak sejejak kuku.


Padang, 2014


ORANG KOTA

Aku orang kota yang terus
menyerut goni berisi kerbau dan anak kecil
mandi di satu tepian,
sawah-sawah gagal panen,
berjinjing-jinjing aroma
duran masak, tukang rabab
diserang asmara, dan gerombolan
anak muda pecinta orgen tunggal.

Aku orang kota
yang tersandung jenjang berjalan,
tergoda membeli baju seken, tertidur
di antrian bank, mual setelah makan
ayam goring Amerika.
Aku orang yang dikalahkan
meja-meja kantor
dan malam yang dipenuhi
tivi dua puluh inci.

Aku orang kota beraroma
padi basah, berwarna lontong malam.
Jika gulai paku besi dipendam,
air mataku mentah di peram.

Padang, 2014


MEMUTAR PIRINGAN HITAM

Kau putar lagi piringan hitam. Perlahan
orang-orang tenggelam dalam gelas-gelas
kopi. Kampung-kampung tinggal
bulatan gelembung. Lagu-lagu
jadi vespa berbusi rapat. Semua
jalan raya punya telinga. Tapi
semua telinga semua dada
bakal berubah kaca
yang tak memantulkan apa-apa.

Kau pecahkan lagi suara
dari cerobong gramofon itu. Antara
kupingmu dan kupingku kenangan
hanya sebatas radio jam satu malam,
walau piring hitam mengeluarkan orkes melayu
mengeluarkan udara yang dulu-dulu.

Beri juga aku joget dari nasib buruk
hari silam di hari baru. Tetapi kau menjawab,
“Pinggulmu pisang masak lisut,
joget maupun yang kau goyangkan
patah di pinggang. Tenggorokanmu
dawai berkarat, lagu apapun
yang kau lantunkan
tak akan masuk kunci
meski dengan nada dari Barat ini.”

Padang, 2014


*Rio Fitra SY lahir di Sungailiku, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 12 Juni 1986. Bekerja dan menetap di Padang.     








Koran Tempo, 10 Agustus 2014

No comments:

Post a Comment