Harian Analisa (Medan)
Minggu, 4 Januari 2015
Puisi Hidayat
Banjar
KETIDAKWAJARAN
dia
bertanya kepada sungai:
“kenapa
mengalir secara tidak wajar?”
“tanyalah
pada pohon,” jawab sungai
“manusia
boleh saja menyebut banjir sebagai
ketidakwajaran
alur
yang diciptakan Tuhan berbelok-belok,
diluruskan
oleh manusia
kayu-kayu
sebagai penyangga dibabat
apakah
perlakuan manusia ini wajar?”
“tidakkah
kau kasihan kepada orang-orang
miskin
di pinggiran sungai?” tanyanya
“alam
hanya mengenal kewajaran,
mengenal
sesuatu yang pas,
untuk
mencapai keseimbangan
sungai
dan pohon adalah sahabat
yang
tidak boleh dipisah,” tegas pohon.
“manusia
senantiasa mengampanyekan
keseimbangan
alam tapi sungai
dibiarkan
tanpa pohon
mengalir
tanpa arah,” sambung sungai
“kecil,
besar, sifatnya relatif
buat
apa kecil kalau tidak efektif,
selain
sekadar menjadi retorik
small is beautiful
sebaliknya,
buat apa memuja-muja
yang
besar kalau tidak efisien,
norak
dan boros,” tambah pohon
“kau
belum menjawab pertanyaanku!”
“kewajaran
hilang ketika apa-apa
dijadkan
proyek
alam
mampu memenuhi seluruh
kebutuhan
hidup manusia
alam
tak mampu memenuhi
keinginan
seseorang yang rakus!”
pohon
dan sungai berteriak sekuatnya
manusia
berteriak: “Banjir…banjir…banjir”
Puisi
Adexinal
BERTAMBAH USIA
diamku
membawa lara menujuk puncak cinta
orang
orang dekatku memberi salam
hormatku
pada nurani terhampar
woi
akulah
kelana menuju cinta
terlihat
tegar menatap cahaya
memasang
bingkai di cakrawala
memahat
aksara di dinding surga
woi
akulah
kelana yang selalu siap sedia
menjadi
tameng segala yang menerpa
mengepalkan
tinju mengacung pada dunia
menepiskan
segala duka dihati yang setia
dari
segenap penjuru arah kita bertatap muka
mencari
sesuatu yang bernama rasa cinta
makapun
menjelang bertambah usia setahun
aku
persembahkan hidup menyatu pada kasihMu
aku
tawarkan segenap rindu untuk menyembahMu
aku
pasrahkan hidup dan matiku padaMu
aku
tak mungkin berpaling dariMu
Puisi
Tanita Liasna
LELAKI PENENUN CINTA
kau
yang kurindu aroma jiwamu
mengait
kata meski terbentuk jarak
gemulai
rindu mewangi di sepanjang mata memandang
kutemu
pangkal senja di pias bibirmu
kasih,
bertemu rindu kita pada mimpi
menyerupa
sepoian lurik cinta
menabuh
di batas kalbu
t’lah
kutemu paduan rasa tak menyekadar tahta
menaut
bilangan hening dalam lautan sukmamu
kutuliskan
segala warna dalam warta di langit
kau,
lelaki penenun cintaku
aku
memanggilmu pada bulan merah muda
No comments:
Post a Comment