Tuesday, February 3, 2015

Puisi Hidayat Banjar, Puisi Adexinal, Puisi Tanita Liasna



Harian Analisa (Medan)
Minggu, 4 Januari 2015

Puisi Hidayat Banjar

KETIDAKWAJARAN

dia bertanya kepada sungai:
“kenapa mengalir secara tidak wajar?”

“tanyalah pada pohon,” jawab sungai

“manusia boleh saja menyebut banjir sebagai
ketidakwajaran
alur yang diciptakan Tuhan berbelok-belok,
diluruskan oleh manusia
kayu-kayu sebagai penyangga dibabat
apakah perlakuan manusia ini wajar?”

“tidakkah kau kasihan kepada orang-orang
miskin di pinggiran sungai?” tanyanya

“alam hanya mengenal kewajaran,
mengenal sesuatu yang pas,
untuk mencapai keseimbangan
sungai dan pohon adalah sahabat
yang tidak boleh dipisah,” tegas pohon.

“manusia senantiasa mengampanyekan
keseimbangan alam tapi sungai
dibiarkan tanpa pohon
mengalir tanpa arah,” sambung sungai

“kecil, besar, sifatnya relatif
buat apa kecil kalau tidak efektif,
selain sekadar menjadi retorik
small is beautiful
sebaliknya, buat apa memuja-muja
yang besar kalau tidak efisien,
norak dan boros,” tambah pohon

“kau belum menjawab pertanyaanku!”

“kewajaran hilang ketika apa-apa
dijadkan proyek
alam mampu memenuhi seluruh
kebutuhan hidup manusia
alam tak mampu memenuhi
keinginan seseorang yang rakus!”

pohon dan sungai berteriak sekuatnya

manusia berteriak: “Banjir…banjir…banjir”

Puisi Adexinal

BERTAMBAH USIA

diamku membawa lara menujuk puncak cinta
orang orang dekatku memberi salam
hormatku pada nurani terhampar

woi
akulah kelana menuju cinta
terlihat tegar menatap cahaya
memasang bingkai di cakrawala
memahat aksara di dinding surga

woi
akulah kelana yang selalu siap sedia
menjadi tameng segala yang menerpa
mengepalkan tinju mengacung pada dunia
menepiskan segala duka dihati yang setia

dari segenap penjuru arah kita bertatap muka
mencari sesuatu yang bernama rasa cinta

makapun menjelang bertambah usia setahun
aku persembahkan hidup menyatu pada kasihMu
aku tawarkan segenap rindu untuk menyembahMu
aku pasrahkan hidup dan matiku padaMu
aku tak mungkin berpaling dariMu
Puisi Tanita Liasna

LELAKI PENENUN CINTA

kau yang kurindu aroma jiwamu
mengait kata meski terbentuk jarak
gemulai rindu mewangi di sepanjang mata memandang
kutemu pangkal senja di pias bibirmu
kasih, bertemu rindu kita pada mimpi
menyerupa sepoian lurik cinta
menabuh di batas kalbu
t’lah kutemu paduan rasa tak menyekadar tahta
menaut bilangan hening dalam lautan sukmamu
kutuliskan segala warna dalam warta di langit
kau, lelaki penenun cintaku
aku memanggilmu pada bulan merah muda

No comments:

Post a Comment